Mengapa Kondominium Rentan Inflasi?

Posted by anggota member on Thursday, July 23, 2009

Di antara berbagai subsektor bisnis properti, ritel dan kondominium dinilai paling rentan terhadap inflasi dan kenaikan suku bunga kredit. Padahal, keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM diprediksi akan meningkatkan inflasi sekaligus menaikkan suku bunga kredit.

Menurut Direktur Jones Lang LaSalle (JLL) Indonesia Lucy Rumantir, tanpa kenaikan harga BBM, prospek subsektor ritel di Jakarta sudah tertekan karena banyaknya proyek pembangunan pusat perbelanjaan, dan masih akan terus bertambah.


Tahun 2008, misalnya, ada tambahan pusat perbelanjaan seperti Mall of Indonesia, Emporium Pluit Mall, dan Pluit Village.


”Penurunan daya beli masyarakat jelas memengaruhi rencana ekspansi bisnis peritel. Ini dapat menurunkan minat membeli ruang-ruang di pusat perbelanjaan,” kata Lucy, pimpinan perusahaan konsultan properti itu.


Adapun kerentanan bisnis
condominium, kata Lucy, karena sebagian besar masyarakat membeli untuk instrumen investasi. Dengan demikian, ketika suku bunga kredit pemilikan Rumah (KPR) terus naik, investor mengalihkan investasinya, dari properti ke deposito atau instrumen perbankan lainnya.


Penyerapan kondominium per kuartal, sejak 2006-2008, volumenya relatif stabil, yakni sekitar 2.000 unit per kuartal. Sebaliknya, pasokannya lebih dari permintaan, yakni 3.000-3.500 unit per kuartal.


”Pertumbuhan pasar
condominium tidak secepat pembangunannya. Kami berpikir peluncuran proyek-proyek kondominium akan surut,” kata Kepala Riset JLL Indonesia Anton Sitorus.


Kondominium
di Jakarta yang banyak diminati masyarakat adalah yang dijual dengan harga Rp 500 juta-Rp 800 juta per unit.


Di sisi lain, prospek properti perkantoran masih menjanjikan. Anton mengatakan, optimisme tinggi properti perkantoran karena meningkatnya investasi asing di Indonesia. Hal ini berdampak pada meningkatnya permintaan ruang kantor.


Indikator tetap menariknya pasar perkantoran terlihat dari harga jualnya yang selalu meningkat, terutama bagi ruang perkantoran di kawasan pusat bisnis Jakarta.


Bila akhir tahun 2007 harga per meter persegi ruang kantor di pusat bisnis di Jakarta 1.500 dollar AS atau sekitar Rp 13,8 juta, pada Mei 2008 harganya mencapai 2.200 dollar AS atau sekitar Rp 20,27 juta per meter persegi.


Menurut Lucy, harga BBM pasti memengaruhi minat membeli hunian, bukan hanya
apartemen, tetapi juga rumah biasa (landed house).


”Namun, karena ini survei properti secara umum, yang terkena dampak terbesar bukan
apartemen namun tetap ritel dan kondominium,” ujar Lucy.


www.kompas.com


Dukung Kampanye
Stop Dreaming Start Action Sekarang

{ 0 comments... read them below or add one }